Kesko TT.III/Siliwangi yang merupakan cikal bakal
satuan ini, lahir ditengah berbagai keterbatasan baik sarana maupun
prasarananya. Meskipun disiapkan dan akan menyandang predikat sebagai satuan khusus,
Kesko TT.III/Siliwangi hanya menempati kantor di salah satu bagian Markas Depot
Batalyon, demikian juga halnya dengan pakaian seragam bagi prajurit-prajurit
satuan. Berkenaan dengan selesainya pendidikan bagi calon-calon prajurit Kesko
TT.III/Siliwangi, untuk melengkapi badge tanda kualifikasi dari
prajurit-prajurit lulusan pendidikan komando, kemudian diberikan pembagian
pakaian seragam loreng dengan corak khusus yang akhirnya dikenal dengan sebutan
seragam loreng ‘Macan Tutul.’ Aslinya,
pakaian loreng tersebut adalah buatan Amerika yang diproduksi pada masa PD-II
dalam jumlah sangat besar untuk digunakan pasukan marinirnya (U.S. Marines).
Pakaian itu dirancang untuk memiliki fungsi ganda, pada bagian sisi yang satu
coraknya dominan berwarna coklat untuk dipakai dalam operasi pendaratan pantai,
sedangkan bagian sebaliknya memiliki corak yang dominan berwarna hijau untuk
digunakan dalam operasi di hutan. Dalam prakteknya, seragam ini ternyata susah
untuk dipakai secara bolak-balik sesuai harapan dalam medan pertempuran yang sedemikian panas,
apalagi saat menghadapi wabah (diare/disenteri/cholera) yang sering
berjangkit dalam pertempuran di daerah tropis. Seiring dengan berakhirnya
PD-II, pakaian seragam ini diberikan sebagai bantuan kepada tentara Kerajaan
Belanda, yang pada akhirnya diberikan kepada angkatan perang Indonesia
kaitannya dengan kemerdekaan RI. Pakaian inilah yang kemudian dibagikan sebagai
seragam khusus prajurit-prajurit satuan Komando. Pakaian loreng Macan Tutul ini
cukup terkenal sebagai ciri khas prajurit prajuritBaret Merah, utamanya di
kalangan masyarakat Jawa Barat, kaitannya dengan berbagai operasi yang
dilakukan satuan komando ini dalam rangka menumpas gerombolan DI/TII. Beberapa tahun
kemudian, dengan semakin berkurangnya persediaan pakaian loreng Macan Tutul yang
sudah tidak diproduksi lagi di negara asalnya, kemudian dilakukan upaya untuk
membuat sendiri pakaian seragam khusus bagi prajuritprajurit Baret Merah.
Adalah Kolonel Inf Moeng Parhadimoeljo, Komandan Menparkoad, yang kemudian
menyetujui penggunaan pakaian seragam yang dirancang dengan corak khusus yang
khas dan kemudian dikenal dengan nama loreng ‘Darah Mengalir.’ Pakaian loreng baru itu secara resmi
diperkenalkan kepada publik untuk pertama kali pada acara parade dan defile
pasukan di lapangan parkir Senayan dalam HUT Angkatan Bersenjata tanggal 5
Oktober 1964. Pada saat itu pula prajurit-prajurit Menparkoad tampil tanpa
penutup kepala Baret Merah yang menjadi ciri khasnya, tapi menggunakan topi laken loreng dengan corak yang
sama dengan seragamnya. Berbeda dengan pakaian seragam loreng yang menjadi
pakaian resmi menggantikan loreng Macan Tutul, topi laken loreng tidak jadi
diberlakukan sebagai tutup kepala resmi satuan ini yang sudah sedemikian lekatnya
dengan predikat sebagai satuan Baret Merah. Akan tetapi topi laken loreng itu
sempat menjadi terkenal saat digunakan prajurit-prajurit satuan ini
melaksanakan penugasan operasi di Kalimantan dalam rangka penumpasan PGRS/ Paraku
serta penugasan di Timor Timur pada awal integrasi wilayah ini ke Indonesia. Prajurit-prajurit
satuan ini pernah pula mengenakan pakaian seragam yang unik yaitu kombinasi
dari baju loreng (Darah Mengalir) dengan celana hijau, dan sempat menjadi suatu
trend tidak hanya di lingkungan Baret Merah namun juga merambah di
satuan-satuan lain. Model pakaian seperti itu sebenarnya terjadi secara
kebetulan, yang berkaitan dengan pemulangan secara mendadak prajurit-prajurit
Menparkoad yang sedang penugasan operasi ke daerah-daerah (Kalimantan,
Irian dll) akibat terjadinya peristiwa G.30.S/PKI. Ditengah situasi yang
sedemikian mendesak, prajurit-prajurit Baret Merah yang baru kembali dari tugas
itu langsung diterjunkan ke lapangan tanpa sempat membongkar perlengkapannya
sehingga hanya tampil dengan memakai pakaian seragam seadanya yaitu baju loreng
darah mengalir dengan celana hijau. Seiring dengan berlangsungnya kebijakan reorganisasi
satuan-satuan di jajaran angkatan darat untuk mewujudkan postur kecil, efektif,
efisien dan profesional, yang kemudian merubah Kopassandha menjadi Kopassus melalui
reorganisasi satuan tahun 1985, penggunaan pakaian seragam khusus loreng Darah
Mengalir bagi satuan ini pun dihapuskan. Prajuritprajurit Baret Merah
menggunakan pakaian seragam loreng dengan corak yang sama dengan satuan-satuan
lainnya di jajaran TNI, yang digunakan hingga saat ini. Pada tahun 1992,
dirintis upaya agar penggunaan seragam khusus loreng darah mengalir
diberlakukan lagi bagi satuan Kopassus dengan mempertimbangkan kepentingan
pembinaan Korps. Usulan tersebut kemudian mendapat persetujuan dari Komando
Atas dengan kebijakan bahwa penggunaannya terbatas pada acara-acara tradisi dan
kegiatan-kegiatan lainnya dalam intern satuan, sedangkan pakaian dinas lapangan
yang resmi tetap menggunakan pakaian seragam loreng TNI. Atas dasar persetujuan
tersebut, pakaian seragam loreng Darah Mengalir diproduksi kembali dengan corak
yang telah disempurnakan, dan sejak tahun 1992 mulai digunakan oleh
prajurit-prajurit.
Disalin dari
Sejarah Kopassus BAB 1-3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar